Cerpen: Bayang-bayang

 


Bayang-bayang

Atik Azzahra Nurfadillah

 

Lorong-lorong itu selalu menghantui setiap langkah kecilnya, ia masih merunduk dengan tatapan kebawah. Kebisingan merayap meramaikan otak yang dirudung rasa kecewa dan kacau. Ia selalu tidak peduli dengan siapapun yang berpapasan dengannya, tidak memperdulikan sekitar. Dia pun masih menunduk dan berusaha mencari ruang kosong untuk menenangkan pikirannya.

Gadis itu masih menatap tajam cermin toilet tanpa perhatiannya penuh, seakan-akan melihat rambut ikal dan tubuhnya yang semakin kurus. Beberapa gadis lain tengah sibuk berlalu lalang di dalam toilet, beberapa ada yang membenah jilbab ataupun menyisir rambut di depan kaca. Tetapi gadis itu masih saja berdiri didepan cermin dengan tatapan mata yang masih terpaku dengan dirinya sendiri.

Toilet itu lumayan ramai, namun dengan tempat tidak terlalu sempit bahkan bisa dikatakan luas untuk toilet kampus tempat itu masih terasa sepi. Sebuah tempat yang seharusnya selalu ramai akan suara-suara gadis dengan ocehan dan keluh kesahnya selama kelas kuliah.

Gadis itu mulai menyadarkan dirinya, ia mulai melirik tas jinjing yang ia bawa kemudian mengambil handphone di sela-sela buku catatan dan berbagai alat dandan perempuan. Ia mulai menyalakan handphone namun hanya sekedar melihat notifikasi kemudian mematikannya kembali. Ia pun bersiap untuk keluar dari tempat itu kemudian pulang kerumah, masih dengan tatapannya tajam ia ke luar melirik jendela samping toilet. Melihat suasana luar dengan angin masih bertiup cukup kencang, langit agak mendung, namun datangnya hujan tidak dapat menjajikan. Ia tak tahu pasti sekarang jam berapa, seperti siang namun tertutup mendung.

Handphonenya tiba-tiba berdering. Dengan segera ia menyambar di dalam tas jinjingnya. Meletakkan benda itu di telinganya, ia pun mulai berbicara dengan seseorang entah di mana, bercakap dan bertukar kata. Lantas ia pun berjalan keluar gedung, kemudian duduk diatas jok motor dengan tenang sambil menyulut rokok, sekali hisap rokok filter berhias lipstik dengan sengaja dibuang sembarang.

Saya masih diatas jok motor sambil menikmati angin dan langit siang yang mendung. Menyalakan motor untuk meninggalkan tempat ini. Langit mendung itu seakan-akan ikut merayakan wajah sendu gadis itu. Sembari menyalakan motor untuk meninggalkan tempat ini, hanphone itu selalu menjadi pegangan di tangan kirinya sembari sibuk dengan motornya.

Jalanan itu sesekali dilewati mobil, beberapa orang berjalan kaki, terkadang remaja sekolah dengan motor kebanggaanya meraung melintas meramaikan jalanan. Menulusuri jalanan ini kembali, namun dengan diri sendiri. Melipirkan motor untuk berhenti sejenak di cafe favoritnya. Ia memarkinkan motornya.

“Ahhh. Apa lagi ini Tuhan!!”

 

***

Ketukan pintu berkali-kali menyadarkan si empu, pertanda ada seseorang yang berdiri di depan pintu kosnya. Dengan malas ia bangkit dari tempat tidurnya, tanpa menyalakan menyalakan lampu kamarnya ia mengintip siapa yang menggedor pintunya dibalik kelambu jendela. Menghela nafas sebentar kemudian membuka pintu.

“Hai…”

Lelaki itu masih memperhatikan kamar gadis itu dengan seksama di depan pintu. Kamar yang cukup rapi dengan hiasan tembok berwarna biru dan tiga poster band The Beatles.

“Masih dengan rokok ungu itu…” kata lelaki itu dengan kekehan kecil.

Saya masih sibuk dengan pikiran yang berkecambuk, dan tidak menjawab pertanyaan konyol itu. Dengan santai dia menaruh jaketnya di kursi belajar dekat pintu duduk tanpa dosa dan masih memperhatikanku.

“Tadi perempuan itu menelponku lagi” ujar gadis itu dengan tatapan kosong berdiri di hadapan lelaki itu. “Katanya dia telah menemukan surga dunia”.

“Terus?” lelaki itu kembali terkekeh mendengar ocehan gadis itu.

Saya masih tidak menanggapinya. Hanya kembali ke kasur untuk sekedar merebahkan badan.

“Bagaimana sekarang?”

“Aku bukanlah lelaki seperti itu, kau terlalu bermain dengan imajinasimu sendiri!!”

“Bukankah menyenangkan, bermain-main dengan imajinasi yang ku buat-buat sendiri sayang?”

Dalam diam kedua manusia itu terdiam dengan pikirannya masing-masing. Wajah lelaki itu memancarkan raut merah, antara marah atau malu. Pintu ditutup kembali, menyisakan gadis itu dengan rokok di bibirnya.

***

Malam larut berteman suara-suara hewan malam bersahutan. Namun pikirannya masih berputar-putar mencari ketenangan. Tampak ia masih bergelut dengan buku catatan biru dan lagu-lagu masih berirama di handphone.

Di celah jendela kamar kos itu terlihat, lampu jalanan yang cahayanya membias di udara, dan selorot lampu mobil ataupun motor silih berganti. Mencoba melupakan hari ini, dengan tatapan kosong ia menutup mata perlahan.

“Sepele, malam sudah larut bodoh” bisiknya dalam hati, Sebelum mematikan lampu kamar dan menyalakan kipas angin di sisi kanan kasurnya. Besok pagi kita kembali seperti biasa, ia tak ingin terlambat kesekian kalinya. 

 

 

 


Komentar