CERITA DIBALIK TERCIPTANYA SYAIR AL- I’TIRAF KARYA ABU NAWAS
CERITA DIBALIK TERCIPASYAIR AL- I’TIRAF KARYA ABU NAWAS
Dalam catatan sejarah, bangsa Arab identik dan kental akan nuansa sastra dan bahasa dan telah diakui sangat mumpuni dalam membuat sebuah karya sastra. Kecerdasan dan derajat seseorang di bangsa Arab, ditentukan oleh sebuah karya sastra yang dihasilkan baik dalam bentuk syair atau puisi. Berkembangnya karya sastra bagi bangsa Arab sebelum agama Islam turun telah menjadi sebuah kekayaan budaya dan warisan budaya tertinggi pada masanya. Salah satu contohnya ialah lahirnya penyair-penyair terkenal pada masa kepemimpinan nabi Muhammad SAW seperti Zuhair bin Abi Sulma, Hasan bin Tsabit, Imrul Qois, dan lain sebagainya.
Sebelum berkembangnya agama Islam karya sastra seperti syair dan puisi yang ditulis oleh seorang sastrawan Arab dengan menggunakan alat dan bahan yang sederhana seperti pelepah kurma yang paling terbaik, kulit hewan yang terbaik dan lain sebagainya. Kemudian akan ditempel di Ka’bah agar dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat bangsa Arab. Para Kabilah akan sangat bahagia dan bangga serta menghormati para sastrawan dan penyair yang ada dalam golongan kabilahnya. Karena pada zaman itu bangsa Arab meyakini, bahwa seseorang yang lihai serta pandai dalam menciptkan syair-syair yang indah akan memiliki kedudukan tertinggi, derajat kehormatan pun akan disematkan kepada penyair dalam pandangan penduduk bangsa Arab.
Dalam dunia sastra Islam terdapat karya sastra berupa syair yang masih masyhur hingga kini, yakni salah satu karya Abu Nawas berjudul Syair Al-I’tiraf. Abu Nawas merupakan seorang penyair asal Timur Tengah yang hidup pada masa Bani Abbasyiah, tepat pada masa kepemimpinan Harun Ar-Rassyid. Selain syair Al-I’tiraf masih banyak lagi pula syair-syair yang muncul dan berkembang pada masa itu. Namun hingga kini syair Al-I’tiraf lah yang masih masyhur dikumandangkan dan dibacakan pada saat setelah adzan sholat fardhu atau biasa disebut pujian.
Pujian setelah adzan sholat fardhu merupakan salah satu kegiatan atau tradisi wajib yang sering kali dilakukan oleh masyarakat di Indonesia. Pujian berisi kalimat-kalimat tayyibah, ayat-ayat istghfar, sholawat, ataupun bacaan lain guna untuk meningkatkan ketakwaan dan keimanan seorang muslim. Pujian juga memiliki fungsi utama antara lain adalah berisi nasihat baik kepada umat muslim. Dismping itu kebahasaan dalam pujian juga beragam antara lain adalah bahasa Arab, bahasa Jawa, ataupun bahasa campuran.
Tradisi mengumandangkan pujian setelah adzan sholat fardhu merupakan salah satu perwujudan idealisme bahwa sholat akan segera dimulai. Tradisi ini sering ditemukan khususnya di daerah Jawa Timur salah satunya di Kecamatan Sukodono, Sidoarjo. Hal ini dilakukan guna untuk meramaikan dan memeriahkan masjid ataupun mushollah sekitar untuk mengajak maysrakat berjamaah bersama. Pujian yang dilakukan oleh mayarakat Sukodono merupakan bukti nyata dari keyakinan kuat masyarakat yang masih memegang teguh ajaran tradisi islam. Dengan lantunan dan nada yang indah menjadikan lahirnya sebuah Ukhuah Islamiah dan rasa keislaman yang tinggi karena adanya pujian-pujian yang masih eksis di masyarakat hingga kini.
Abu Nawas atau biasa dikenal dengan Abu-Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami (756-814 M), biasa disebut dengan Abū-Nuwās, merupakan seorang pujangga terkenal asal Arab. Abu Nawas dilahirkan di kota Ahvaz di Persia, sehingga dalam dirinya mengalir darah keturunan Arab dan Persia. Setelah ayahnya meninggal, Abu Nawas diasuh ibunya dan dibawanya ia ke sebuah negeri bernama Basra, Irak. Di sana Abu Nawas belajar beberapa ilmu-ilmu agama secara mendalam seperti ilmu Al-Qur’an, ilmu Hadist, hingga sastra Arab.
Abu Nawas dikenal sebagai sosok penyair terbesar dalam genre sastra Arab klasik. Karya-karyanya telah mempengaruhi banyak sastrawan generasi setelahnya, termasuk sastrawan seperti Omar Kayam, dan Hafiz keduanya merupakan seorang penyair dari negara Persia. Diantara puisi-puisi karya Abu Nawas banyak bertemakan tentang kehidupan, seperti halnya tema konvensional yakni nostalgia kehidupan orang-orang Badui, serta dalam karyanya pun sangat antusias untuk memuji kehidupan masyarakat Baghdad sehingga menjadi sebuah perbedaan kebudayaan yang amat mencolok antara kedua golongan tersebut.
Karya-karya Abu Nawas merupakan sebuah bagian dari gerakan pembaharuan sastra klasik Arab salah satunya yakni puisi Arab. Pembaharuan ini dimulai sejak masa Bani Umayyah (661-750 M). Abu Nawas dianggap sebagai seniman yang memiliki peran penting dalam gerakan ini, yakni yang menganggap bahwa puisi merupakan sebuah karya ekspresi bebas dan langsung bukanlah sebagai pengulangan pola bahasa klasik dan blok bahasa.
Selain dikenal sebagai seorang penyair, seorang Abu Nawas juga dikenal sebagai penasihat karena dirinya yang biasa memberi nasihat-nasihat kepada orang lain. Abu Nawas dikenal pun dikenal sebagai seorang yang humoris, tak jarang dirinya dirinya sering dipanggil penguasa di istanah hanya untuk sekedar dimintai pendapat ataupun hanya sekedar berbincang santai. Dari sekian sifat-sifatnya yang baik ternyata dibalik itu semua Abu Nawas memiliki kebiasaan buruk dimata masyarakat yaitu suka meminum-minum beralkohol. Inilah salah satu alasan mengapa lahirnya syair indah Al-I’tiraf.
Dalam dunia kesusastraan Islam terdapat salah satu karya sastra syair karya Abu Nawas yang paling terkenal yakni Al-I’tiraf. Syair Al-I’tiraf merupakan syair yang masih mahsyur dikumandangkan hingga kini. Dalam syair ini berisi tentang ungkapan hati pertaubatan seorang Abu Nawas yang ditujukan kepada Tuhan semesta alam yakni Allah SWT. Didalamnya terdapat makna yang ingin disampaikan Abu Nawas mengenai dosadosanya yang begitu banyak tak dapat dihitung dan setiap hari semakin bertambah, hingga ungkapan-ungkapan taubat kepada Tuhan. Semua isi hati dan ungkapannya ia tuliskan dalam syair ini dengan indah dan bernilai seni yang amat tinggi.
Ketika Abu Nawas mendapat pencerahan, dirinya membuat sebuah syair pertaubatan berjudul Al-I’tiraf yang memiliki arti pengakuan. Didalam syair tersebut berisi pengakuan dan sebagi bukti pertaubatan tulus dari seorang Abu Nawas kepada Allah SWT. Seperti yang telah dikisahkan dalam kitab-kitab dan kesaksian langsung dari para ulama. Abu Nawas merupakan sosok yang cerdik namun juga kontroversial. Salah satunya adalah diceritakan bahwa kegemarannya mabuk-mabukan sebelum bertaubat, menjadikan dirinya mendapat pencerahan dari Tuhan. Yang kemudian membawa dirinya menjadi seseorang yang taat beragama dan menjadi ulama besar paham Al-Quran, hadist, dan fiqih. Pasca pertaubatan inilah sosok Abu Nawas ketika telah memiliki beberapa santri, terciptalah syair indah berjudul Al-I’tiraf. Menurut sumber yang ada, syair ini diajarkan secara langsung oleh Abu Nawas kepada salah satu santrinya.
Menurut pandangan Abu Nawas melalui syair Al-I’tiraf yang berisi pujian-pujian merupakan cara manusia untuk merayu kepada Tuhan. Merayu yang berarti berusaha mendapatkan hati seseorang. Sama halnya kepada sesama manusia, ketika seseorang telah didapatkan hatinya maka keinginan kita maka akan terkabulkan olehnya. Maka melalui syair ini Abu Nawas ingin mengajarkan bahwa sebagai seorang hamba harus senangtiasa merayu Tuhan dengan tuturan yang indah, agar setiap apa yang dilakukan mendapat berkah dan ridha dari Tuhan. Ketika Tuahan telah ridha maka setiap apa yang diinginkan dan diminta secara tulus oleh hambanya maka akan dikabulkan.
Komentar
Posting Komentar