HEGEMONI KEKUASAAN DALAM NOVEL "ORANG-ORANG OETIMU" KARYA FELIX K. NESI

 MENILIK NOVEL "ORANG-ORANG OETIMU" KARYA FELIX K. NESI


Orang-orang Oetimu merupakan novel yang mengisahkan cerita di dalam cerita mengenai kondisi sosial dan  hegemoni kekuasaan di wilayah Timur Indonesia. Pengarang yakni Felix K. Nessi berusaha membahas permasalahan sosial yang terjadi di daerah Timor Timur (Timor Leste) dan daerah Oetimu yakni suatu wilayah kecil di kawasan pelosok NTT, pada sekitar tahun 1974 hingga tahun 1999. Novel ini termasuk dalam jenis novel etnografis yang kaya akan kebudaya masyarakat Timor Timur dan NTT, dikemas dengan teknik penceritaan yang apik disertai dengan kritik sosial yang tajam dan keras. Mulai dari kesenjangan ekonomi, pendidikan, fasilitas, pelecehan seksual, kolonilisme bangasa Portugal  dan Indonesia di wilayah Timor-Timur yang kurang disorot oleh media nasional. Dalam hal ini penulis menyajikan tiga masalah sosial yang diceritakan dalam novel Orang-orang Oetimu dengan menggunakan pendekatan teori sosiologi sastra oleh Antonio Gramsci, antara lain adalah isu ekonomi, isu politik, serta isu militer.

Premis utama, pada awal cerita pengarang menceritakan kehebohan warga kampung Oetimu yang tengah memeriahkan final piala dunia pada tahun 1998, pada saat itu negara yang bertanding adalah tim Prancis melawan Brazil. Peristiwa tersebut membawa pengarang untuk menceritakan ketimpangan sosial yang terjadi di Oetimu, hal ini dibuktikan bahwa pada saat itu di kampung Oetimu hanya memiliki tiga TV yakni milik saudagar Cina yang pelit dan mas Zainal sang pengepul besi rosokan yang membuat warga tidak menyukai ketika menonton TV miliknya. Sehingga warga kampung terpaksa menonton bersama piala dunia di kantor pos polisi bernama Sersan Ipi. Hal ini dapat dibuktikan pada kutipan berikut:

“Sudah ada tiga buah televisi di kampung itu. Satu di pos polisi, satu di rumah Mas Zainal, dan satu di rumah Baba Ong pemilik toko subur... (Felix, 2020: 3)

Kutipan tersebut menunjukkan ketimpangan sosial yang tengah dialami masyarakat Oetimu, mereka yang memiliki TV merupakan orang-orang kelas sosial atas. Mayoritas masyarakat Oetimu adalah golongan rendah yang masih kurang dalam hal ekonomi, penulis yakni Felix Nesi mengadaptasi cerita tersebut dengan peristiwa yang tengah terjadi saat itu. Hal itu nyata adanya pada sekitar tahun 1997-1998 kondisi ekonomi di Indonesia yang tengah merosot akibat polemik krisis moneter yang berpengaruh dengan perkembangan ekonomi masyarakat Indonesia.

Pada bab ke dua, pengarang menceritakan kilas balik pada tahun 1974. Diceritakan tentara asal Portugal  bernama Julio hendak dikirim ke daerah kolonial Portugal yakni Timor Portugis, Julio membawa anak beserta istrinya untuk tinggal bersama. Julio adalah orang Portugal netral yang tidak memihak ketiga partai politik di wilayah Timor, namun naas kedekatannya dengan Kapten Gustavo membawanya terjerumus dalam kudeta politik. Julio diceritakan mengalami kekerasan di kantor polisi akibat dirinya yang dianggap memihak salah satu partai politik di Timor Portugis. Hal ini dapat dibuktikan pada kutipan berikut:

 

“Partai UDT baru saja melancarkan kudeta, menduduki kota dan pusat-pusat pemerintahan termasuk kantor polisi. Júlio dan Kapten Gustavo dibawa ke kantor polisi, tetapi tidak dipertemukan dengan kepala polisi yang terhormat itu…” (Felix, 2020: 18)

Kutipan tersebut menunjukkan adanya konflik politik yang terjadi di Timor Portugal. Hal tersebut nyata adanya didukung dengan sumber yang ada penulis berhasil menceritakan kembali peristiwa tersebut dengan gaya penulisan yang apik. Pada tahun tersebut kondisi politik Timor Portugal tengah kisruh karena adanya konflik politik, Portugal memberi kebebasan wilayah koloninya untuk membentuk partai politik, merespon hal tersebut Timor Portugal membentuk 3 partai utama di wilayahnya yakni UDT, ASDT (FRETILIN), dan APODETI. Ketiga partai ini memiliki ideologi yang berbeda, FRETILIN memilih merdeka dan berdiri sebagai negara mandiri, UDT memilih untuk tetap mengikuti pemerintahan Portugal, dan APODETI memilih untuk bergabung dengan wilayah Indonesia. Pada akhirnya partai UDT memilih berkuoalisi dengan partai FRETILIN, namun UDT membuat kudeta sehingga UDT dan FRETILIN perang saudara. Hal tersebut menyebabkan Portugal memilih pergi dari Timor Portugis karena wilayah tersebut sudah tidak aman, kepergian Portugal menjadikan FRETILIN berhasil berkuasa di Timor Portugis serta mendeklarasikan negara baru bernama Timor Leste.

 

Cerita berlanjut, ketika Timor Leste berhasil merdeka namun status kemerdekaanya belum diakui dunia hal ini menyebabkan adanya invasi oleh militer Indonesia yakni TNI, setelah UDT dan APODETI meminta bantuan Indonesia dan ingin bergabung dengan NKRI setelah kekalahannya oleh partai FRETILIN. Diceritakan bahwasannya bergabungnya Julio dengan partai FRETILIN membawa ia dan keluarganya diasingkan oleh tentara Indonesia ke tempat perasingan, hingga pada akhirnya Julio dan Istrinya dieksekusi oleh militer Indonesia dan meninggalkan anak perempuannya bernama Laura yang kemudian ia dibawa di hotel untuk disiksa, diperkosa, serta di introgasi. Diceritakan pula kekejaman militer yang menyiksa warga Timor yang dianggap pro Komunis. Hal ini dapat dibuktikan pada kutipan berikut:

Partai UDT dan APODETI bersekutu dengan Indonesia dan mendeklarasikan Integrasi Timor Portugis dengan Republik Indonesia. (Felix, 2020: 22)

Pagi-pagi benar mereka dibangunkan. Tentara membentak bentak dalam Bahasa Indonesia, dan Júlio hanya menangkap kata komunis dan Fretilin. (Felix, 2020: 24)

Ia melihat banyak tahanan di tempat itu, yang laki-laki di siksa dengan kejam dan kerap kali dipaksa untuk memegang payudaranya, dan perempuan-perempuan mendapat perlakuan yang tidak lebih baik darinya. (Felix, 2020: 25)

Kutipan tersebut menunjukkan keberanian penulis dalam mengungkap kebobrokan militer Indonesia pada saat menginvasi Timor Leste. Invasi Indonesia di Timor Leste adalah invasi besar berskala militer yang pernah dilakukan Indonesia. Indonesia menginvasi Timor Leste dimulai pada 7 Desember 1975, pada saat itu Timor Leste tengah perang saudara karena terpecahnya ideologi ketiga partai politik. Setelah FRETILIN mendeklarsikan kemerdekaannya sebagai negara baru bernama Timor Leste, seminggu kemudian Indonesia datang menginvasi yang disebut sebagai operasi Seroja. Musuh utama militer Indonesia adalah golongan FRETILIN karena dianggap sebagai condong ideologi komunis, pada saat itu orde baru merupakan pemerintahan yang anti komunisme sehingga bergabungnya Timor Leste ke dalam komunisme merupakan ancaman besar untuk Indonesia.

Komentar