Cerpen: CERITA DI KAMPUNG PULO
CERITA
DI KAMPUNG PULO
Oleh: Atik Azzahra
Nurfadillah
Ketika saya
melamun di depan teras rumah dan ibu tengah menyiram tanaman di halaman rumah
kemarin sore, seekor kucing mungil mendadak menghampiriku dan duduk manja di
kursi sebelah. Seekor kucing mungil berbulu oranye di seluruh badanya, bermata
belo. Saya meyakini bahwasannya kucing itu adalah sejenis kucing kampung yang
sengaja dibuang pemiliknya karena tidak ingin merawat anak kucing itu. Anak
kucing oranye itu mengingatkan saya pada kisah kucing oranye di kontrakan dulu.
Sekitar 10 tahun
lalu, saya masih berada di bangku kelas satu SMP, saya tinggal bersama orang
tua di Surabaya dan bertempat tinggal dikontrakan yang berada di ujung gang
sempit, jaraknya kurang lebih dua kilo meter dari sekolah. Kami tinggal di
rumah sederhana yang hanya mempunyai dua kamar. Satu kamar untuk ayah dan ibu,
serta saya bersama adik. Saya dan adik mendapat kamar paling depan dengan
jendela di ujung kamar yang cukup lebar. Jika jendela itu dibuka, saya dapat
melihat pemandangan rumah tetangga depan melui kaca kamar yang cukup lebar,
hingar bingar warga kampung gang Pulo yang ramai, teras sempit dan halaman
rumah berupa gang sempit. Gang Pulo merupakan tempat tinggal masyarakat rantau
yang berlokasi di Surabaya bagian barat.
Keluarga kami
tidak begitu akrab dengan tetangga baik tetangga depan dan sebelah, kami sangat
tertutup. Kami hanya mengenal namanya, dan ketika saling berjumpa hanya
tersenyum tidak ada percakapan lanjutan maupun basa-basi. Setiap pagi, gang
Pulo selalu ramai dengan percakapan ibu-ibu berbelanja dan bergosip ria. Orang
tua yang sering meneriaki anaknya yang akan berangkat sekolah, penjual roti
yang menjajakan dagangannya, dan yang membuat saya jengkel adalah penjual air
dengan teriakannya nyaring.
Diantara tetangga
kami di gang Pulo, yang paling saya kenal adalah tetangga depan rumah yakni
seorang kakek nenek tua kisaran tujuh puluh tahun bernama kakek Salam dan nenek
Beti. Mereka adalah kakek nenek paruh baya yang tinggal berdua, kabarnya
anak-anak mereka tengah merantau di Jakarta. Kakek Salam memiliki banyak
peliharan untuk menghibur masa tuanya, salah satunya adalah kucing-kucing
kampung liar yang Ia adopsi. Kakek Salam berdalih kasian melihat kucing-kucing
kampung terlantar yang selalu mendapat perlakuan kasar dari warga kampung gang
Pulo, padahal kucing-kucing itu hanya ingin sedikit sisa makanan .
Menurut cerita
warga sekitar, kakek Salam dan nenek Beti sangatlah misterius. Kakek Salam dan
nenek Beti yang dilihat warga tidak memiliki pekerjaan dan suka bersantai
bersama kucing-kucingnya, terlihat adem ayem tidak ada kegelisahan mengenai
masalah ekonomi, tidak seperti halnya warga kampung gang Pulo pada umumnya.
Anak kakek Salam juga tidak pernah terlihat mengunjungi kediaman orang tuanya.
Konon warga mengira, kakek Salam dan nenek Beti memiliki sikap misterius karena
mereka menganut ajian ilmu hitam berupa pesugihan yang dianggap bisa mejadikan
penganutnya kaya raya. Itu hanyalah cerita, yang saya tidak tahu akan
kebenarannya, yang saya ketahui hanyalah kakek Salam dan nenek Beti suka dengan
hewan peliharaan, banyak jenis hewan di rumahnya antara lain burung, saya tidak
mengetahui jenis burung apa yang dipelihara kakek Salam namun sarangnya
digantungkan di langit-langit teras rumah. Serta sekitar sepuluh kucing kampung
liar yang ia adopsi.
Setiap hari, terutama
setiap pagi kicauan burung dan ngeongan kucing menggema di rumah kakek Salam
bersautan dengan hingar-bingar penduduk gang Pulo. Burung-burung dan
kucing-kucing itu sekan meminta jatah sarapan pagi kepada sang juragan. Setiap
pagi kakek Salam dengan telaten bergantian menjemur burung-burung peliharaan
miliknya di tepi jalan gang Pulo yang sempit, terkadang sarang-sarangnya
digantungkan di pagar rumah. Yang penting kena panas matahari pagi, kata kakek
Salam pada suatu pagi.
Setiap pagi kakek
Salam rajin membersihkan kendang burung dengan mengeruk tahi-tahi di bawah
kurungan itu lalu membuangnya diselokan. Kucing-kucing kakek Salam terkenal
sangat nakal, banyak warga yang mengeluh sepeda motonya terkena kencing kucing
peliharaan kakek Salam, ada juga keluhan salah satu warga gang Pulo yang
membuat saya tertawa yakni ikan tongkol satu? satunya di dapur dicuri oleh
kucing kakek Salam. Dan keluhan yang paling sering adalah aroma pesing akibat
bau tahi-tahi burung dan kucing yang kakek salam buang di selokan melebur
menjadi satu di gang Pulo. Aroma itu sangat semerbak, terutama di kamar saya
dan adik karena menghadap langsung di selokan milik kakek Salam.
Keluarga kami
sebenarnya merasa sangat tidak nyaman tinggal di kampung gang Pulo. Kami dengan
terpaksa pindah tempat tinggal karena ayah memilih menjual rumah lama untuk
membayar hutang-hutang bank yang menjerat keluarga kami. Alasan ayah memilih
gang Pulo sebagai rumah sementara kami selain murah, jarak rumah dengan
sekolahku dan adik yang lumayan dekat serta pekerjaan ayah yang dituntut
berpindah-pindah tempat sehingga gang Pulo merupakan pilihan yang tepat untuk
tempat tinggal sementara kami. Keluarga kami merasa kurang nyaman dan kurang
terbiasa dengan sifat dan perilaku tetangga yang bising. Di depan kami mereka
tampak tidak banyak berbiacara, tetapi saya dapat melihat mereka saling akrab
satu sama lain. Kakek Salam dan nenek Beti yang sibuk dengan hewan-hewan
peliharaannya. Serta tetangga lain yang sibuk dengan kesibukannya.
Pada suatu sore,
kakek Salam dan tante Meri terlibat adu mulut karena perkara kucing kakek Salam
yang berkali-kali mengganggu hamster-hamster peliharaan milik tante Meri.
Mereka sama-sama beradu mulut sehingga menjadi tontonan warga sekitar khusunya
gang Pulo. Pertengkaran tersebut dilerai oleh ketua RT yang langsung turun
tangan menyelesaikan pertengkaran itu. Pertengkaran konyol itu bukanlah sekali
dua kali tetapi hampir setiap hari, dan paling banyak dikarenakan kucing-kucing
nakal milik kakek Salam. Sampai di suatu siang, dua kucing oranye kesayangan
milik kakek Salam ditemukan mati di bawah pohon mangga milik pak RT. Tanpa
banyak omong kakek Salam langsung datang ke rumah tante Meri dan
menggedor-gedor rumah tante Meri. Kakek Salam bersikeras bahwasannya tante Meri
yang sengaja meracuni kedua kucing kesayangan kakek Salam. Tante Meri
bersikeras bahwasannya bukan dia yang membunuh kucing yang malang itu, meskipun
ia membenci kucing milik kakek Salam tetapi ia masih memiliki rasa kasihan
terhadap hewan.
Perseteruan itu
akhirnya berakhir dengan robohnya tubuh tua kakek Salam, siang itu juga kakek
Salam dilarikan dirumah sakit, petang harinya kami mendapat kabar bahwasannya
kakek Salam sudah tidak ada. Kerabat-kerabat jauh Kakek Salam mulai berdatangan
dan juga anaknya yang kabarnya merantau di Jakarta tiba-tiba datang. Para
tetangga yang melayat mengatakan bahwasannya kakek Salam meninggal dikarenakan
serangan jantung. Diantara kerumunan itu, terlihat tante Meri dengan wajahnya
yang penuh sesal. Meski tidak ada yang mengatakan bahwa penyebab kematian kakek
Salam adalah tante Meri, tetapi wajah tante Meri menyiratkan akan hal itu.
Tujuh hari berselang setelah kematian kakek Salam, kini rumahnya tak seramai
dulu, tidak ada lagi kicauan dan ngeongan saat pagi hari, istrinya yakni nenek
Beti kini mengikuti jejak ke Jakarta bersama anaknya. Yang tersisa hanyalah
hingar bingar ibu-ibu gosip dan penjual air yang mengganggu telingaku.
Dari semua
kejadian itu, terdapat satu pertanyaan siapa yang meracuni kedua kucing oranye
yang malang itu yang mengantarkan kakek Salam ke ajalnya, namun tidak ada titik
terang yang muncul. Lamban laun pertanyan itu tergerus waktu. Sampai pada suatu
malam, semua hamster-hamster peliharaan tante Meri tiba-tiba dikabarkan mati
tanpa sebab. Karena persitiwa itu tante Meri yang dikenal periang kini menjadi
begitu pendiam. Kejadian itu berlangsung begitu saja, seperti kejaidian lain
yang menjadi kadaluarsa untuk diperbincangkan. Namun banyak warga yang
berpendapat bahwa tante Meri lah yang merencanakan semuanya, tante Meri
dianggap sengaja meracuni kedua kucing oranye kesayangan kakek Salam. Karena
kudua kucing oranye itu sering datang ke rumah tante Meri dan mengacak-acak
kendang hamster miliknya. Kematian hamster milik tante Meri merupakan kemarahan
arwah dari kakek Salam. Namun sampai detik ini, saya belum mengetahui persis
siapa yang sengaja meracuni kedua kucing oranye peliharaan kakek Salam dan
matinya hamster-hamster tante Meri.
Kucing oranye di
sebelah saya, membuat saya bertanya-tanya dan mengingat kejadian 10 tahun lalu
di gang Pulo. Tentang bagaimana kucing-kucing dan burung-burung peliharaan
kakek Salam, siapa yang merawatnya? Bagiamana kabar kontrakan sekarang siapa
yang menempati?. Tiba-tiba lamunanku sirna karena anak kucing yang saya belai
disebelah mendadak lari entah kemana. Sampai detik ini saya sangat mengingat
dengan baik peristiwaperistiwa lucu, senang, dan sedih ketika saya dan keluarga
masih mengontrak di gang Pulo Surabaya barat. Cerita itu masih sangat rapi saya
simpan di benak hingga sekarang, dan sudah sangat kadaluarsa untuk diceritakan
kepada orang lain.
Komentar
Posting Komentar